A. Hikmah Disyari’atkannya Shalat Dua Hari Raya (‘Idain)
Setiap kaum memiliki hari dimana mereka berhias pada hari itu, dan mereka keluar dari rumah-rumah dengan membawa segala pernak-pernik perhiasan mereka.
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tiba di Madinah, penduduk kota tersebut memiliki dua hari dimana mereka bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah. Maka, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الفِطْرِ
“Aku telah datang kepada kalian, sementara kalian memiliki dua hari dimana kalian bermain-main pada kedua hari tersebut di masa jahiliyyah. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik daripadanya, yaitu hari kurban (Nahr, ‘Idul Adha) dan ‘Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Al-Baghawi dan selainnya)
Yakni, karena dua hari raya, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, adalah dua hari yang ditetapkan berdasarkan syari’at Allah subhanahu wa ta’ala dan pilihan-Nya bagi makhluk-Nya. Alasan lainnya, karena keduanya menggiring pelaksanaan dua rukun yang agung dari rukun-rukun Islam, yaitu haji dan puasa. Pada dua hari itu Allah mengampuni dosa-dosa para jama’ah haji dan orang-orang yang berpuasa, serta Allah menyebarkan rahmat-Nya kepada seluruh makluk-Nya yang taat.
Adapun Nairuz dan Marjan (dua hari raya masyarakat Madinah semasa jahiliyah), maka keduanya berdasarkan pilihan kaum bijaksana pada zaman itu. Karena kedua hari tersebut adalah masa yang teduh, sejuk, dan keistimewaan-keistimewaan yang fana lainnya.
Perbedaan kedua keistimewaan tersebut sangat nyata bagi yang memperhatikannya.
B. Hukum Shalat Dua Hari Raya
Para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat ‘Idain (dua hari raya) dalam tiga pendapat:
Pendapat Pertama:
Hukumnya fardhu ‘ain. Ini madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Ini juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam. Hujjah mereka adalah:
- Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2)
Perintah di sini menunjukkan kewajiban.
- Firman Allah Ta’ala,
…ولِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ… (١٨٥)
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Perintah untuk bertakbir pada dua hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk mengerjakan shalat yang mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.
- Rutinitas Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas para khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.
- Perintah kepada kaum Muslimin untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita, gadis-gadis yang berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid –namun Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat‒. Bahkan wanita yang tidak memiliki jilbab diperintahkan agar mengenakan jilbab saudaranya.
- Shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang paling nyata, dan hukumnya wajib sebagaimana shalat Jum’at. Oleh karena itu, wajib memerangi orang-orang yang menolak melakukannya secara keseluruhan.
- Shalat ‘Id dapat menggugurkan shalat Jum’at, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana telah dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.
Pendapat Kedua:
Hukumnya fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyyah. Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyari’atkan adzan padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, seperti shalat jenazah. Namun, wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya seperti shalat Jum’at.
Pendapat Ketiga:
Hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’I dan mayoritas sahabat-sahabatnya. Hujjah mereka sebagai berikut:
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada seorang badui (A’rabi). Ketika beliau menyebut shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah kewajiban atasku selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau mengerjakan yang sunnah.” Dan hadits-hadits yang semakna dengannya.
- Shalat ‘Id adalah shalat yang memiliki ruku’ dan sujud. Namun tidak disyari’atkan adzan untuknya. Ia tidak wajib berdasarkan syari’at, seperti halnya shalat Dhuha.
Pendapat yang rajih:
Adalah pendapat pertama, beradasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun pendapat yang mengatakan shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat yang sangat lemah. Adapun hadits lelaki Arab badui tersebut bukanlah hujjah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan shalat lima waktu secara khusus untuk menegaskan kewajibannya secara berkelanjutan, dan pengulangannya setiap hari. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya hukumnya wajib untuk waktu tertentu saja, seperti shalat jenazah, shalat nadzar dan selainnya.
Adapun yang mengatakan fardhu kifayah tidak kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang mashlahatnya bisa diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit dan menundukkan musuh. Sementara ‘Id tidak ada kemashlahatan tertentu yang bisa dilakukan oleh sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih disyari’atkan berkumpul dibandingkan hari Jum’at. Karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum wanita untuk menghadirinya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri shalat Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengidzinkan mereka untuk mendatangi shalat Jum’at, namun beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum wanita) adalah lebih baik bagi kalian.” Wallahu a’lam.
C. Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat ‘Id dua rakaat, berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Shalat safar dua rakaat, shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat adalah sempurna bukan qashar, berdasarkan lisan Nabi kalian. (Shahih diriwayatkan oleh Nasa’i III/183, dan Ahmad I/37).
Shalat ‘Id dikerjakan dengan tata cara sebagai berikut:
- Mulai rakaat pertama –seperti shalat-shalat lainnya‒ dengan takbiratul ihram (mengucapkan Allahu Akbar seraya mengangkat kedua tangan).
- Sesudah itu bertakbir sebanyak tujuh kali takbir sebelum memulai bacaan. Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau mengangkat tangan setiap kali takbir shalat ‘Id. Tetapi Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma –yang dikenal sebagai orang yang paling komitmen mengikuti sunnah Nabi‒ mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir.” (Zad al-Ma’ad I/441)
- Tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang menyebutkan dzikir-dzikir tertentu di antara takbir-takbir tersebut. Tetapi Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di antara tiap-tiap dau takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah.” (hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi III/291)
- Kemudian memulai membaca surah Al-Fatihah –setelah takbir-takbir tersebut‒ kemudian membaca surah al-Qur’an. Dianjurkan agar membaca surah Qaf, dan pada rakaat yang kedua membaca surah al-Qamar, sebagaimana riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. (Shahih diriwayatkan oleh Muslim, An-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Kadang Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca surah al-A’la, dan surah al-Ghasyiyah. (shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya dari jalur Nu’man bin Basyir)
- Setelah membaca surah, ia melanjutkan yang tersisa dari rakaat tersebut dengan tata cara yang sudah biasa.
- Bertakbir untuk bangkit ke rakaat kedua.
- Setelah itu beratkbir lima kali takbir menurut cara yang disebutkan pada rakaat pertama tadi.
- Membaca surat al-Fatihah dan surah yang disebut di atas.
- Kemudian ia sempurnakan shalatnya, lalu mengucapkan salam.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka tentang sifat shalat dua hari raya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha: pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan pada rakaat kedua lima kali takbir, tidak termasuk takbir untuk ruku. (shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud [1150], Ibnu Majah [1280], dan Ahmad [VI/70])
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Id: tujuh kali pada rakaat pertama. Kemudian beliau membaca, kemudian bertakbir dan ruku, kemudian sujud. Kemudian bangkit lalu bertakbir lima kali. Kemudian membaca, kemudian bertakbir dan ruku, kemudian sujud.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
D. Tempat Pelaksanaan Shalat Hari Raya
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke Mushalla (tempat pelaksanaan shalat). Pertama pertama yang beliau kerjakan adalah mengerjakan shalat…” (Shahih, riwayat al-Bukhari 956, Muslim 889, dan Nasa’i III/187)
Sunnah yang berlaku dalam pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha adalah di mushalla (di padang pasir atau di tanah lapang). Karena Nab shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَاذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih afdhal daripada seribu shalat di tempat-tempat lainnya, kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim, shahih)
Kemudian meskipun fadhilahnya sangat besar, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam keluar dan meninggalkannya…” (Al-Madkhal, tulisan Ibnul Hajj II/283)
Kecuali jika ada udzur, seperti hujan dan sejenisnya. Atau sebagian orang tidak mampu untuk keluar karena sakit, atau karena berusia lanjut, maka tidak ada larangan bagi mereka untuk mengerjakannya di masjid.
Hendaklah diketahui bahwa tujuan dari shalat ini adalah berkumpulnya kaum Muslimin di satu tempat. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada banyak tempat shalat di tempat-tempat yang terpisah tanpa ada keperluan, sebagaimana kita lihat di negeri-negeri Islam.
Faidah:
Paling afdhal adalah shalat ‘Id di Masjidil Haram. Karena para imam, dari dahulu sampai sekarang, mengerjakan shalat ‘Id di Mekah di Masjidil Haram. Masjidil Haram lebih utama daripada keluar ke Mushalla (padang pasir atau tanah lapang)
E. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id
Waktu shalat ‘Id dimulai setelah matahari meninggi seukuran tombak (yaitu setelah lewat waktu larangan shalat) dan berakhir ketika tergelincir matahari. Demikianlah pendapat jumhur: Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisr –seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam- bahwa ia keluar bersama orang-orang pada hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam keluar, seraya mengatakan, “Sesungguhnya kami dahulu sudah selesai pada saat seperti ini.” Yaitu, ketika sudah tiba waktu shalat Tasbih (Shalat Dhuha)” (Shahih, diriwayatkan secara Mu’allaq oleh al-Bukhari II/456 dan secara bersambung oleh Abu Dawud 1135, Ibnu Majah 1317, al-Hakim I/295 dan al-Baihaqi III/282)
Faidah:
Paling afdhal adalah mengerjakan shalat ‘Idul Adha di awal waktu agar kaum Muslimin bisa leluasa menyembelih hewan-hewan kurban mereka. Dianjurkan untuk mengakhirkan sedikit dari waktu tersebut pada shalat ‘Idul Fitri, agar orang-orang memiliki waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah mereka.”
F. Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat ‘Id
Ketika kita tiba di tempat shalat pada pelaksanaan shalat ‘Id (lapangan), terkadang kita menyaksikan ada sebagian dari jama’ah shalat ‘Id yang mengerjakan shalat dua raka’at pada saat mereka baru saja tiba di tempat shalat tersebut. Jika kita telisik lebih dalam, mungkin shalat yang mereka kerjakan adalah shalat tahiyyatul masjid. Tapi apakah benar ada shalat dua raka’at, baik itu tahyatul masjid maupun shalat qabliyah dan ba’diyah shalat ‘Id..??
Ternyata tidak benar. Tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Mari kita simak penjelasan berikut ini:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengerjakan shalat pada hari ‘Idul Fitri dua rakaat, tanpa mengerjakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya.” (shahih diriwayatkan oleh Bukhari 989, at-Tirmidzi 537, an-Nasa’i III/193 dan Ibnu Majah 1219)
Ibnu Al-‘Arabi rahimahullah berkata, “Adapun mengerjakan shalat sunnah di Mushalla (tempat shalat ‘Id), seandainya hal itu pernah dilakukan, niscaya riwayat sudah dinukil. Pihak yang membolehkannya memandang bahwa itu adalah waktu mutlak yang dibolehkan mengerjakan shalat. Sementara pihak yang tidak megerjakannya, mereka memandang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah mengerjakannya. Barang siapa yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka ia telah mendapat petunjuk.”
Al-Hafizh berkata, “Adapun mengerjakan shalat-shalat sunnah secara mutlak, maka tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Kecuali jika itu dilakukan pada waktu-waktu terlarang di semua hari. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Sebagian ulama memandang bahwa tempat shalat ‘Id adalah masjid. Apabila seseorang memasuki masjid, maka ia tidak boleh duduk hingga mengerjakan shalat dua raka’at. Mereka berdalil dengan larangan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kepada wanita haid untuk duduk di tempat itu dan memerintahkan mereka untuk menjauhinya.[1] Namun pendapat ini perlu dikoreksi. Adapun menjadikan larangan wanita haid berdiam di tempat shalat sebagai dalil, maka ini dapat dibantah bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak mengerjakan shalat…. Kemudian, bumi ini seluruhnya adalah masjid (tempat shalat), lalu apakah disyari’atkan tahiyyatul Masjid ketika hendak shalat di tempat manapun dari bumi ini? Kesimpulannya, seandainya para shahabat mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid di Mushalla (tempat shalat ‘Id), niscaya sudah dinukil, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-‘Arabi. Wallahu a’lam.
Tetapi jika mereka mengerjakan shalat ‘Id di masjid, maka tidak diragukan lagi tentang disyariatkannya Tahiyyatul Masjid.
G. Tidak Ada Adzan dan Iqamah Untuk Shalat ‘Id
Salah satu daripada kekeliruan sering terjadi pada saat pelaksanaan shalat ‘Id adalah mengumandangkan iqamah -meskipun dengan kalimat yang berbeda, seperti ash-shalaatu Jaami’ah- ketika hendak didirikannya shalat ‘Id tersebut. Perbuatan seperti ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan tersebut tidak sejalan dengan sunnah Nabi shallalllahu ‘alayhi wa sallam. Jadi perbuatan yang tidak diajarakan oleh Nabi dan itu dianggap baik atau bernilai ibadah, maka masuk ke dalam kategori bid’ah. Dan ingat bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan mengantarkan pelakunya kepada siksa Neraka.
Berdasarkan praktek shalat ‘Id yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para shahabatnya, maka jelaslah bahwa dalam shalat ‘Id tidak ada adzan dan iqamah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata, “Tidak ada adzan untuk ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha” (Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari 960 dan Muslim 886)
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mengerjakan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alayihi wa sallam bukan cuma sekali atau dua kali, dengan tanpa adzan dan iqamah.” (Shahih, diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam apabila sampai di tempat shalat, beliau langsung shalat tanpa adzan dan iqamah serta tanpa ucapan: Ash-Shalaatu Jaami’ah. Sunnahnya adalah tidak melakukan sesuatu dari hal itu.”
Berdasarkan hal ini, maka seruan untuk mengerjakan shalat ‘Id adalah bid’ah. Wallahu a’lam.
H. Shalat Id Dalam Kondisi Wabah Corona
Yang jelas shalat itu diperintahkan di antaranya dengan dalil berikut,
“Dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).
Dalam Zaad Al-Masiir (9:249), Ibnul Jauzi menyebutkan tiga pendapat mengenai shalat. Salah satu tafsirannya adalah perintah untuk shalat id.
Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna (hlm. 19) menyatakan, “Jika kita mengatakan bahwa shalat berjamaah dan shalat Jumat ditiadakan dan beralih shalat di rumah saat pandemi, demikian pula untuk shalat id tidak dilakukan di berbagai tempat shalat dan masjid jami karena dikhawatirkan adanya mudarat dengan berkumpulnya orang banyak.
Shalat id tidak sah dilakukan di rumah sebagaimana shalat Jumat tidak sah dilakukan di rumah. Demikianlah kesimpulan yang bisa ditarik dari pendapat Ibnu Taimiyah, jika shalat id luput, tidak ada qadha. Karena shalat id itu disyaratkan dilakukan dengan ijtimak (kumpulan orang banyak).”
Ada perkataan Ibnu Qudamah tentang mengqadha shalat id. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang luput dari shalat id, maka tidak ada qadha baginya. Karena hukum shalat id adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, sudah dikatakan cukup. Jika ia mau mengqadha shalat tersebut, tergantung pilihannya. Jika ia ingin mengqadhanya, diganti menjadi 4 rakaat. Empat rakaat tersebut boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam. Perihal di atas diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan menjadi pendapat Ats Tsauri. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
“Barang siapa yang luput shalat ‘ied, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat. Barang siapa yang luput shalat Jum’at, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat.” (Al-Mughni, 3:284).
Jumhur ulama berpendapat disyariatkannya shalat id bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun sendirian dan tidak di rumah.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
“Bab: Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaat, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini ber- dasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ini adalah id (hari raya) kita kaum muslimin.’ Anas bin Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi ‘Utbah di Az-Zawiyah, maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota dan sesuai dengan takbir mereka. Ikrimah berkata, ‘Penduduk kampung (demikian juga para petani) berkumpul tatkala id, lalu mereka shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa (yang shalat id di kota)”. ‘Atha’ berkata, ‘Jika seseorang luput dari shalat id maka ia shalat dua rakaat.’”
Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para tabiin dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat id, maka hendaknya ia mengqadhanya. Yaitu ia mengqadhanya dengan shalat dua rakaat dan bertakbir sebagaimana shalat id biasanya. Namun, tidak perlu khutbah setelah shalat. Wallahu a’lam.” (https://firanda.com/3922-fikih- seputar-ramadhan-terkait-covid-19.html).
Kesimpulannya, ada dua pendapat dalam masalah ini. Silakan memilih shalat id di rumah jika tidak melaksanakannya di lapangan, atau memilih tidak shalat id sama sekali dan tidak ada qadha sama sekali. Wallahu a’lam.